Lagi-lagi kita dikejutkan dengan berita
tentang penyiksaan disertai pembunuhan yang dilakukan oleh tersangka Samsul Anwar bersama istrinya Radika dan 5
anggota keluarga lainnya diduga menganiaya 2 PRT hingga tewas. 3 Pembantu
lainnya yang berhasil diselamatkan juga kerap disiksa. Kasus ini terbongkar
setelah polisi mendapat laporan terjadi perdagangan manusia di Jalan Beo simpang Angsa No 17, Medan, Sumatera Utara. Penyiksaan terhadap pembantu rumah rumah
tangga yang berujung dengan kematian bukanlah hal yang pertama terjadi di
Indonesia dan ini juga bukan yang terakhir, karena akan terus terjadi selama
pembantu rumah tangga tidak mempunyai payung hukum.
Hingga kini
eksistensi hukum tentang pembantu rumah tangga masih menjadi polemik dalam
ranah perdebatan mengenai kategorisasi. Dalam arti, apakah pembantu rumah
tangga termasuk kategori buruh/pekerja atau bukan. Undang-Undang No.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak secara tegas mengakomodasikan tentang pembantu
rumah tangga, apalagi menyangkut aspek perlindungan hukumnya. Persoalannya
adalah, ke mana seorang pembantu rumah tangga akan mengadu jika dirugikan atau
diperlakukan semena-mena oleh pemberi kerja.
Pembantu rumah tangga berhak mendapat
kondisi kerja yang layak. ILO menghasilkan Konvensi ILO No. 189 Mengenai Kerja
Layak pembantu rumah tangga. Konvensi ini merupakan perlindungan bagi pembantu
rumah tangga di seluruh dunia. Setelah melalui perjuangan yang panjang,
akhirnya Konferensi tahunan ILO ke-100 menghasilkan Konvensi ILO No. 189
Mengenai Kerja Layak pembantu rumah tangga. Konvensi yang merupakan
perlindungan bagi pembantu rumah tangga di seluruh dunia ini akan menjadi
landasan untuk memberi pengakuan dan menjamin pembantu rumah tangga mendapatkan
kondisi kerja layak sebagaimana pekerja di sektor lain.
Namun demikian
keberadaan Konvensi ILO No. 189 tidak serta merta dirasakan secara konkrit
sebagai payung perlindungan sebelum diratifikasi melalui sistem perundangan
formal di Indonesia.
Sebelumnya di
Indonesia terdapat undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
undang-undnag nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dan undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang perlindungan tenaga
kerja Indonesia di luar negeri. Tetapi kesemua undang-undang tersebut secara
khusus tidak ada yang mengatur tentang pembantu rumah tangga terkait dengan
aspek pengakuan terhadap pekerja rumah tangga sebagai pekerja, jumlah upah
minimum, kontrak kerja, jam kerja/waktu, kesehatan, keselamatan kerja, waktu
istirahat, cuti, perlindungan terhadap kekerasan fisik maupun psikis, standar
kompetensi PRT, serta aspek sosial dan budaya hukum masyarakat pengguna jasa
PRT di daerah.
Interpretasi pemerintah terhadap UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam
sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati “pekerja”
didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan
upah atau bentuk imbalan lain”. Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah
tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian
bukan “pengusaha” di dalam artian UU tersebut. Karena PRT dianggap tidak
dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak
diberikan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pekerja
lainnya. Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme penyelesaian
perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk menurut UU No.
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan
penafsiran terhadap substansi UU No.13 Tahun 2003 tersebut dengan demikian
secara hukum keberadaan PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Secara yuridis,
PRT memang bebas, sebab negara kita melarang perbudakan dan perhambaan. Tapi
dari kacamata sosiologis, yang terjadi justru sebaliknya. PRT tidak bebas.
Sebagai orang yang memiliki keterbatasan bekal hidup selain tenaganya, PRT
terpaksa bekerja pada orang lain dalam hal ini pemberi kerja yang memiliki
otoritas menentukan syarat-syarat kerja. Relatif rendahnya tingkat pendidikan
menutup kemampuan PRT mengekpos hak-haknya serta tak dapat merespon berbagai
informasi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Selama aturan main hubungan
PRT dengan pemberi kerja diserahkan kepada kedua belah pihak, maka sukar
dicapai suatu keseimbangan kepentingan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan.
Perlu diingat
bahwa dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan
adanya naskah akademik yang dihimpun dari persoalan-persoalan yang terjadi di
maysyarakat terkait dengan perlindungan pekerja rumah tangga. RUU PPRT
merupakan ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pekerja domestik.
Undang-undang yang ada sebelumnya masih bersifat umum, sehingga belum
mengakomodir persolaan perlindungan pekerja rumah tangga. Undang-undang yang bisa
dikaitkan dengan pekerja rumah tangga adalah Undang-undang ketenagakerjaan,
undang-undang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga (PTKDRT) dan
undang-undang perlindungan anak.
Dalam
undang-undang ketenaga kerjaan pekerja rumah tangga belum diatur secara detail
tentang dasar terminology pekerja rumah tangga. Akan tetapi konvensi ILO
menegaskan bahwa pekerja rumah tangga yang sebelumnya dikenal dengan pembantu
rumah tangga sudah diakui dan dianggap sebagai tenaga kerja.
Kaitannya dengan
undang-undang PTKDRT subyek hukum yang diatur masih belum jelas sehingga
pekerja rumah tangga belum menjadi bagian dari subyek hukum dalam undang-undang
PTKDTR. Selanjutnya kaitannya dengan undang-udang perlindungan anak, adalah
tentang batasan usia dan adanya kegiatan mempekerjakan pekerja rumah tangga
dibawah usia 15 tahun dan masalah eksploitasi terhadap anak, nantinya akan
mengacu pada undang-udang perlindungan anak ini, akan tetapi lingkup pengawasan
terhadap pekerja anak ini harus dilakukan, dalam rangka melindungi anak dan
terhindar dari eksploitasi pekerja anak.
Jumlah PRT di Indonesia yang mencapai
10.744.887. Sekitar 67 persennya dari rumah tangga kelas menengah dan menengah
atas telah mempekerjakan PRT. Dengan maraknya kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) di Indonesia, maka PRT memerlukan payung hukum. Kita mengharapkan kepada DPR untuk segera membahas
dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan pekerja rumah tangga
(PRT) menjadi undang-undang.
Dengan adanya undang-undang
perlindungan pekerja rumah tangga, dapat
memberikan perlindungan dan menjamin pemenuhan hak-hak pembantu rumah tangga
seperti jam kerja, kepastian upah, bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan.
Yang perlu diingat bagi para pemberi
kerja bahwa PRT merupakan sebuah profesi yang harus dikelola secara sistemik
dan tidak lepas dari jangkauan hukum, dan perlu digaris bawahi bahwa Indonesia adalah negara hukum
(Rechstaats) bukan negara kekuasaan (machstaats). Indikator
konsistensi dimaksud bukan terletak pada seberapa banyak produk hukum yang
dibuat tetapi sejauhmanakah hukum yang ada secara nyata dapat dirasakan
manfaatnya bagi yang membutuhkan, termasuk PRT.
0 comments:
Post a Comment