Kurikulum 13 yang digadang-gadang Mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh bahwa kompetensi guru lebih baik
setelah menerapkan Kurikulum 2013 dibanding kurikulum sebelumnya yang lebih
dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Tetapi kenyataan yang ada di lapangan baik
siswa, orang tua murid dan guru sama-sama bingung dalam melaksanakan kurikulum
13.
Kurikulum yang konon kabarnya akan lebih
memanusiakan anak didik itu pada kenyataannya justru memberikan beban kepada
banyak pihak yaitu :
1.
Guru
Guru kesulitan
dalam mengapilkasikan sistim penilaian yang ada dalam kurikulum ini, terutama
begitu banyaknya lembaran isian yang harus dikerjakan guru. Sebagai contoh
untuk penilaian sikap spiritual dan sikap sosial, akan menyita tidak sedikit
waktu guru.
Ditambah lagi penilaian pengetahuan dan keterampilan yang juga membutuhkan waktu tidak sedikit, tentunya akan menjadi beban bagi guru. Sebagai contoh, untuk seorang guru sertifikasi dengan jam wajib 24 jam, perinciaannya misalnya pelajaran bahasa Inggris untuk 24 mengampu enam rombongan belajar dikalikan setiap rombongan belajar ada 30 siswa, maka akan ada 180 siswa yang menjadi tugas guru tersebut. Dengan empat aspek penilaian, kita tinggal kalikan saja 180 siswa kali empat.
Bagi guru yang menjadi
wali kelas, mempunyai tugas tambahan misalnya, penilaiannya akan semakin banyak
terutama adanya penilaiaan deskriptif pada rapor. Tentu ini akan semakin sulit.
Lain lagi masalah, misalnya digunakan sistem aplikasi dalam penilaian rapor, tidak semua wali kelas melek komputer. Jadi, intinya hal ini akan jadi masalah utama selain masalah-masalah lain yang dikeluhkan guru.
Penambahan
beban belajar di semua jenjang pendidikan. Kebijakan penambahan jam ini
dimaksudkan agar guru memiliki waktu yang lebih leluasa untuk mengelola dan
mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi (berpusat) pada siswa atau
mengembangkan pembelajaran aktif, beserta proses penilaiannya.
Justru membuat guru tidak mempunyai waktu lagi untuk keluarganya.
2.
Orang Tua
Para orang tua
mengeluhkan pekerjaan rumah anaknya semakin menumpuk. Setiap hari anak tidak
pernah absen membawa pekerjaan rumah yang bebannya melebihi kemampuan sang anak
dan orang tua yang berlatar belakang pendidikan pas-pasan.
Orang tua siswa diharapkan mampu menjadi guru untuk membantu
proses belajar siswa ketika di rumah. Permasalahan yang ditimbulkan disini
adalah tidak kebanyakan orang tua siswa berasal dari kalangan akademis yang
memiliki kemampuan berpikir yang baik. Kebanyakan dari mereka justru berasal
dari golongan menengah ke bawah. Untuk membantu pembelajaran dalam bidang
matematika, b indo, ipa, dsb masih sulit apalagi dengan mata pelajaran yang
jadi satu disini. Hal ini bahkan sempat dikeluhkan oleh salah satu wali murid
yang berasal dari golongan akademis bahwa beliau tidak tahu mau membantu
mengajari anaknya seperti apa karena beliau tidak tahu rancangan dari buku
panduan kurikulum 2013 ini.
3.
Siswa
Banyaknya tugas yang diberikan kepada para siswa. Para siswa
dituntu untuk mampu menyelesaikan banyak tugas dengan cara bekerja secara
kelompok. Namun pada penerapannya banyak tugas yang diberikan merupakan tugas
dasar yang repetitive sehingga hal itu tidak menambah pengetahuan para
siswa, namun justru mendidik siswa untuk memiliki daya tahan yang kuat untuk
menyelesaikan pekerjaan banyak namun mudah secara berulang-ulang.
Mengharuskan
pelajar untuk menguasai banyak materi pelajaran, tetapi tak menguasainya secara
utuh sehingga membuat pelajar menjadi tidak fokus. Sehingga tak
ada satu pun bidang mata pelajaran yang benar-benar dikuasai secara mendalam.
Muhammad Nuh selalu
bilang di media, “di Kurikulum baru, guru tak perlu lagi bikin
silabus”. Sungguh sebuah pembodohan yang terstrukturisasi.
Guru hanya diminta untuk menjadi makhluk penurut dan memenuhi keinginan sang
penguasa. Guru tak menjadi lagi orang yang merdeka, dan memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Guru
tak lagi menjadi seperti mata air yang selalu menghapus dahaga peserta didiknya
akan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Guru hanya sekedar
menjadi “tukang”, dan bukan
lagi arsitek
pembelajaran. Lebih celaka lagi matpel TIK (Teknologi
Informasi dan Komunikasi), dan beberapa pelajaran lainnya yang disukai siswa
justru dihapuskan dalam struktur kurikulum 2013. Padahal peserta didik sangat
senang sekali pelajaran TIK, tapi menurut pejabat tim pengembang kurikulum,
mata pelajaran ini akan diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. TIK
dianggap hanya sebuah tools, dan bukan lagi sains. Tak jelas bentuk
pelatihannya, dan katanya sedang dipikirkan. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan
dikeluarkan sementara masih dipikirkan? Ini menandakan bahwa pemerintah masih
belum siap dengan penerapan kurikulum baru. Akibatnya banyak guru yang akhirnya
dirugikan, terutama sertifikasi gurunya.
Kita tentu maklum kurikulum sudah seringkali berubah, namun ternyata
tidak memecahkan masalah. Mengapa kita tak pernah belajar dari sejarah? Selalu
melakukan hal yang sama, dan terperosok dalam lubang yang sama? Kasihan para
peserta didik kita. Mereka hanya menjadi kelinci percobaan kaum penguasa.
Mereka dijadikan “trial and error” dari sebuah penelitian kebijakan yang
berbasis “proyek”.
Pantas saja pendidikan menjadi mahal di negeri ini. Si miskin menjadi sulit
mendapatkan pendidikan yang baik.
Ada apa
dengan kurikulum 13 dan mengapa guru harus menolak kurikulum 2013? Sebab kurikulum ini syarat dengan
kepentingan politik. Kurikulum itu tak lagi bernuansa
akademik dan terlalu dipaksakan penerapanannya. Padahal kalau mau jujur,
kurikulum ini belum tentu mampu menjawab persoalan pendidikan yang ada saat
ini. Guru-guru justru malah dibuat bingung dengan kurikulum baru. Seminar dan
bedah kurikulum 2013 digelar di berbagai tempat, namun hasilnya belum cukup
memuaskan semua pihak.
Sementara itu, dari sisi akademik, kurikulum ini belum
sepenuhnya dikaji secara ilmiah. Masih banyak dosen atau guru besar di
perguruan tinggi yang menanyakan kajian ilmiahnya. Kompetensi Inti dan
Kompetensi dasarnya masih bermasalah, termasuk juga indikatornya. Kesannya,
kurikulum ini hanya menggunakan pendekatan kekuasaan saja, dan bukan lagi pendekatan akademik. Berbagai dokumen penting kurikulum
sengaja tak dilempar ke publik, sebab mereka takut mendapatkan kritik. Guru
dipaksa untuk siap menerima kurikulum yang belum siap implementasinya di
lapangan. Guru dipaksa untuk menerimanya dengan bulat-bulat.
Kalau mau jujur, kurikulum 2013 bukanlah
jawaban dari peningkatan kinerja pendidikan melalui kurikulum, guru, dan lama
tinggal di sekolah. Anggaran dana sebesar Rp. 2,49 Trilyun untuk kurikulum 2013 terdiri atas
anggaran melekat dan anggaran langsung cuma akal-akalan pemerintah agar dana
ini dapat dicairkan dengan dalih pendidikan kunci
pembangunan yang pernah dituliskan pak
Wapres Budiono di koran Kompas beberapa waktu lalu.
Kemendikbud
seperti tak pernah berhenti bereksperimen, celakanya, atas beban guru, orang
tua murid dan anak didik. Tempo hari ada eksperimen RSBI yang menelan dana
triliunan rupiah, tapi kemudian ditutup begitu saja. Kita patut mengkhawatirkan
eksperimen baru ini bersifat tambal sulam, apalagi jelas-jelas persiapannya
tidak matang, sehingga hasilnya pun tidak akan maksimal.
Fakta
menunjukkan adanya kelemahan manajerial. Itu terlihat dari banyaknya persoalan
yang muncul. Ada kasus UN yang amburadul, peredaran buku-buku kualitas
"sampah" di sekolah, juga indikasi korupsi. Mengherankan juga mantan Menteri
Nuh sangat percaya diri memberlakukan Kurikulum 2013, meski ia dikritik tidak
memiliki kepekaan moral untuk mempertanggungjawabkan kebobrokan lembaganya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak serius dalam menyiapkan
kurikulum 2013. Dengan masih disusunnya beberapa buku mata pelajaran di tingkat
sekolah menengah atas, dan pelatihan guru yang belum rampung. Menunjukan pendidikan
selalu dikaitkan dengan kepentingan politik jangka pendek tanpa mau belajar kesalahan
sebelumnya.
Kurikulum baru ini hanya sekadar proyek yang dipaksakan. Bila ini
diteruskan, anak akan jadi korban dari politik pendidikan penguasa. Kurikulum 13
hanya mengikuti selera pemegang kekuasaan tanpa memikirkan anak sebagai aset
bangsa.
Segala persiapan kurikulum yang terburu-buru, merupakan pola pikir politik
sempit yang hanya sekadar politik pencitraan. "Ini bukti penguasa tidak
mau memahami substansial pendidikan.
Sebenarnya kunci untuk pengembangan kualitas pendidikan adalah pada guru. Kita tidak boleh memandang bahwa pergantian kurikulum secara otomatis akan meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimanapun juga di tangan gurulah proses peningkatan itu bisa terjadi dan di tangan Kepala Sekolah yang baik dapat terjadi peningkatan kualitas ekosistem pendidikan di sekolah yang baik pula. Peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan akan makin digalakkan sembari kurikulum ini diperbaiki dan dikembangkan.
Solusi terbaik bangsa ini adalah menolak
dengan tegas kurikulum 2013. Biarkan kurikulum lama dievaluasi lebih dulu. Mari
kita melihat kelemahan dan kelebihannya. Lalu kemudian lakukan uji publik.
Jangan hanya sepihak saja mengatakan bahwa kurikulum 2006 atau KTSP tidak bagus
dan harus diganti. Segala sesuatu itu harus dilakukan dengan cara yang benar
dan penelitian yang tingkat validitasnya tak diragukan. Transparansi atau
keterbukaan harus dikedepankan demi menjunjung nilai kejujuran dan sikap
demokratis. Sehingga tak ada omongan lagi, “ganti menteri, ganti kurikulum.”
No comments:
Post a Comment