Pages

Pages - Menu

Monday, December 8, 2014

ADA APA DENGAN KURIKULIM 13



Kurikulum 13 yang digadang-gadang Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh bahwa kompetensi guru lebih baik setelah menerapkan Kurikulum 2013 dibanding kurikulum sebelumnya yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Tetapi kenyataan yang ada di lapangan baik siswa, orang tua murid dan guru sama-sama bingung dalam melaksanakan kurikulum 13.
Kurikulum yang konon kabarnya akan lebih memanusiakan anak didik itu pada kenyataannya justru memberikan beban kepada banyak pihak yaitu :
1.        Guru
Guru kesulitan dalam mengapilkasikan sistim penilaian yang ada dalam kurikulum ini, terutama begitu banyaknya lembaran isian yang harus dikerjakan guru. Sebagai contoh untuk penilaian sikap spiritual dan sikap sosial, akan menyita tidak sedikit waktu guru.

Ditambah lagi penilaian pengetahuan dan keterampilan yang juga membutuhkan waktu tidak sedikit, tentunya akan menjadi beban bagi guru. Sebagai contoh, untuk seorang guru sertifikasi dengan jam wajib 24 jam, perinciaannya misalnya pelajaran bahasa Inggris untuk 24 mengampu enam rombongan belajar dikalikan setiap rombongan belajar ada 30 siswa, maka akan ada 180 siswa yang menjadi tugas guru tersebut. Dengan empat aspek penilaian, kita tinggal kalikan saja 180 siswa kali empat.

Bagi guru yang menjadi wali kelas, mempunyai tugas tambahan misalnya, penilaiannya akan semakin banyak terutama adanya penilaiaan deskriptif pada rapor. Tentu ini akan semakin sulit.

Lain lagi masalah, misalnya digunakan sistem aplikasi dalam penilaian rapor, tidak semua wali kelas melek komputer. Jadi, intinya hal ini akan jadi masalah utama selain masalah-masalah lain yang dikeluhkan guru.

Penambahan beban belajar di semua jenjang pendidikan. Kebijakan penambahan jam ini dimaksudkan agar guru memiliki waktu yang lebih leluasa untuk mengelola dan mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi (berpusat) pada siswa atau mengembangkan pembelajaran aktif,  beserta proses penilaiannya. Justru membuat guru tidak mempunyai waktu lagi untuk keluarganya.

2.        Orang Tua
Para orang tua mengeluhkan pekerjaan rumah anaknya semakin menumpuk. Setiap hari anak tidak pernah absen membawa pekerjaan rumah yang bebannya melebihi kemampuan sang anak dan orang tua yang berlatar belakang pendidikan pas-pasan.

Orang tua siswa diharapkan mampu menjadi guru untuk membantu proses belajar siswa ketika di rumah. Permasalahan yang ditimbulkan disini adalah tidak kebanyakan orang tua siswa berasal dari kalangan akademis yang memiliki kemampuan berpikir yang baik. Kebanyakan dari mereka justru berasal dari golongan menengah ke bawah. Untuk membantu pembelajaran dalam bidang matematika, b indo, ipa, dsb masih sulit apalagi dengan mata pelajaran yang jadi satu disini. Hal ini bahkan sempat dikeluhkan oleh salah satu wali murid yang berasal dari golongan akademis bahwa beliau tidak tahu mau membantu mengajari anaknya seperti apa karena beliau tidak tahu rancangan dari buku panduan kurikulum 2013 ini.

3.        Siswa
Banyaknya tugas yang diberikan kepada para siswa. Para siswa dituntu untuk mampu menyelesaikan banyak tugas dengan cara bekerja secara kelompok. Namun pada penerapannya banyak tugas yang diberikan merupakan tugas dasar yang repetitive sehingga hal itu tidak menambah pengetahuan para siswa, namun justru mendidik siswa untuk memiliki daya tahan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan banyak namun mudah secara berulang-ulang.

Mengharuskan pelajar untuk menguasai banyak materi pelajaran, tetapi tak menguasainya secara utuh sehingga membuat pelajar menjadi tidak fokus. Sehingga tak ada satu pun bidang mata pelajaran yang benar-benar dikuasai secara mendalam.

Muhammad Nuh selalu bilang di media, “di Kurikulum baru, guru tak perlu lagi bikin silabus”. Sungguh sebuah pembodohan yang terstrukturisasi. Guru hanya diminta untuk menjadi makhluk penurut dan memenuhi keinginan sang penguasa. Guru tak menjadi lagi orang yang merdeka, dan memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Guru tak lagi menjadi seperti mata air yang selalu menghapus dahaga peserta didiknya akan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Guru hanya sekedar menjadi “tukang”, dan bukan lagi arsitek pembelajaran. Lebih celaka lagi matpel TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), dan beberapa pelajaran lainnya yang disukai siswa justru dihapuskan dalam struktur kurikulum 2013. Padahal peserta didik sangat senang sekali pelajaran TIK, tapi menurut pejabat tim pengembang kurikulum, mata pelajaran ini akan diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. TIK dianggap hanya sebuah tools, dan bukan lagi sains. Tak jelas bentuk pelatihannya, dan katanya sedang dipikirkan. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan dikeluarkan sementara masih dipikirkan? Ini menandakan bahwa pemerintah masih belum siap dengan penerapan kurikulum baru. Akibatnya banyak guru yang akhirnya dirugikan, terutama sertifikasi gurunya.

Kita tentu maklum kurikulum sudah seringkali berubah, namun ternyata tidak memecahkan masalah. Mengapa kita tak pernah belajar dari sejarah? Selalu melakukan hal yang sama, dan terperosok dalam lubang yang sama? Kasihan para peserta didik kita. Mereka hanya menjadi kelinci percobaan kaum penguasa. Mereka dijadikan “trial and error” dari sebuah penelitian kebijakan yang berbasis “proyek”. Pantas saja pendidikan menjadi mahal di negeri ini. Si miskin menjadi sulit mendapatkan pendidikan yang baik.

Ada apa dengan kurikulum 13 dan mengapa guru harus menolak kurikulum 2013? Sebab kurikulum ini syarat dengan kepentingan politik. Kurikulum itu tak lagi bernuansa akademik dan terlalu dipaksakan penerapanannya. Padahal kalau mau jujur, kurikulum ini belum tentu mampu menjawab persoalan pendidikan yang ada saat ini. Guru-guru justru malah dibuat bingung dengan kurikulum baru. Seminar dan bedah kurikulum 2013 digelar di berbagai tempat, namun hasilnya belum cukup memuaskan semua pihak.

Sementara itu, dari sisi akademik, kurikulum ini belum sepenuhnya dikaji secara ilmiah. Masih banyak dosen atau guru besar di perguruan tinggi yang menanyakan kajian ilmiahnya. Kompetensi Inti dan Kompetensi dasarnya masih bermasalah, termasuk juga indikatornya. Kesannya, kurikulum ini hanya menggunakan pendekatan kekuasaan saja, dan bukan lagi pendekatan akademik. Berbagai dokumen penting kurikulum sengaja tak dilempar ke publik, sebab mereka takut mendapatkan kritik. Guru dipaksa untuk siap menerima kurikulum yang belum siap implementasinya di lapangan. Guru dipaksa untuk menerimanya dengan bulat-bulat.

Kalau mau jujur, kurikulum 2013 bukanlah jawaban dari peningkatan kinerja pendidikan melalui kurikulum, guru, dan lama tinggal di sekolah. Anggaran dana sebesar Rp. 2,49 Trilyun untuk kurikulum 2013 terdiri atas anggaran melekat dan anggaran langsung cuma akal-akalan pemerintah agar dana ini dapat dicairkan dengan dalih  pendidikan kunci pembangunan yang pernah dituliskan pak Wapres Budiono di koran Kompas beberapa waktu lalu.

Kemendikbud seperti tak pernah berhenti bereksperimen, celakanya, atas beban guru, orang tua murid dan anak didik. Tempo hari ada eksperimen RSBI yang menelan dana triliunan rupiah, tapi kemudian ditutup begitu saja. Kita patut mengkhawatirkan eksperimen baru ini bersifat tambal sulam, apalagi jelas-jelas persiapannya tidak matang, sehingga hasilnya pun tidak akan maksimal.

Fakta menunjukkan adanya kelemahan manajerial. Itu terlihat dari banyaknya persoalan yang muncul. Ada kasus UN yang amburadul, peredaran buku-buku kualitas "sampah" di sekolah, juga indikasi korupsi. Mengherankan juga mantan Menteri Nuh sangat percaya diri memberlakukan Kurikulum 2013, meski ia dikritik tidak memiliki kepekaan moral untuk mempertanggungjawabkan kebobrokan lembaganya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak serius dalam menyiapkan kurikulum 2013. Dengan masih disusunnya beberapa buku mata pelajaran di tingkat sekolah menengah atas, dan pelatihan guru yang belum rampung. Menunjukan pendidikan selalu dikaitkan dengan kepentingan politik jangka pendek tanpa mau belajar kesalahan sebelumnya.

Kurikulum baru ini hanya sekadar proyek yang dipaksakan. Bila ini diteruskan, anak akan jadi korban dari politik pendidikan penguasa. Kurikulum 13 hanya mengikuti selera pemegang kekuasaan tanpa memikirkan anak sebagai aset bangsa.
Segala persiapan kurikulum yang terburu-buru, merupakan pola pikir politik sempit yang hanya sekadar politik pencitraan. "Ini bukti penguasa tidak mau memahami substansial pendidikan.

Sebenarnya kunci untuk pengembangan kualitas pendidikan adalah pada guru. Kita tidak boleh memandang bahwa pergantian kurikulum secara otomatis akan meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimanapun juga di tangan gurulah proses peningkatan itu bisa terjadi dan di tangan Kepala Sekolah yang baik dapat terjadi peningkatan kualitas ekosistem pendidikan di sekolah yang baik pula. Peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan akan makin digalakkan sembari kurikulum ini diperbaiki dan dikembangkan.


Solusi terbaik bangsa ini adalah menolak dengan tegas kurikulum 2013. Biarkan kurikulum lama dievaluasi lebih dulu. Mari kita melihat kelemahan dan kelebihannya. Lalu kemudian lakukan uji publik. Jangan hanya sepihak saja mengatakan bahwa kurikulum 2006 atau KTSP tidak bagus dan harus diganti. Segala sesuatu itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan penelitian yang tingkat validitasnya tak diragukan. Transparansi atau keterbukaan harus dikedepankan demi menjunjung nilai kejujuran dan sikap demokratis. Sehingga tak ada omongan lagi, “ganti menteri, ganti kurikulum.”

No comments:

Post a Comment