Blogger news

Tuesday, December 9, 2014

Pembantu Rumah Tangga Riwayatmu

2:29 PM





Lagi-lagi kita dikejutkan dengan berita tentang penyiksaan disertai pembunuhan yang dilakukan oleh tersangka Samsul Anwar bersama istrinya Radika dan 5 anggota keluarga lainnya diduga menganiaya 2 PRT hingga tewas. 3 Pembantu lainnya yang berhasil diselamatkan juga kerap disiksa. Kasus ini terbongkar setelah polisi mendapat laporan terjadi perdagangan manusia di Jalan Beo simpang Angsa No 17, Medan, Sumatera Utara. Penyiksaan terhadap pembantu rumah rumah tangga yang berujung dengan kematian bukanlah hal yang pertama terjadi di Indonesia dan ini juga bukan yang terakhir, karena akan terus terjadi selama pembantu rumah tangga tidak mempunyai payung hukum.

Hingga kini eksistensi hukum tentang pembantu rumah tangga masih menjadi polemik dalam ranah perdebatan mengenai kategorisasi. Dalam arti, apakah pembantu rumah tangga termasuk kategori buruh/pekerja atau bukan. Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak secara tegas mengakomodasikan tentang pembantu rumah tangga, apalagi menyangkut aspek perlindungan hukumnya. Persoalannya adalah, ke mana seorang pembantu rumah tangga akan mengadu jika dirugikan atau diperlakukan semena-mena oleh pemberi kerja.

Pembantu rumah tangga berhak mendapat kondisi kerja yang layak. ILO menghasilkan Konvensi ILO No. 189 Mengenai Kerja Layak pembantu rumah tangga. Konvensi ini merupakan perlindungan bagi pembantu rumah tangga di seluruh dunia. Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya Konferensi tahunan ILO ke-100 menghasilkan Konvensi ILO No. 189 Mengenai Kerja Layak pembantu rumah tangga. Konvensi yang merupakan perlindungan bagi pembantu rumah tangga di seluruh dunia ini akan menjadi landasan untuk memberi pengakuan dan menjamin pembantu rumah tangga mendapatkan kondisi kerja layak sebagaimana pekerja di sektor lain.
Namun demikian keberadaan Konvensi ILO No. 189 tidak serta merta dirasakan secara konkrit sebagai payung perlindungan sebelum diratifikasi melalui sistem perundangan formal di Indonesia.

Sebelumnya di Indonesia terdapat undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, undang-undnag nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Tetapi kesemua undang-undang tersebut secara khusus tidak ada yang mengatur tentang pembantu rumah tangga terkait dengan aspek pengakuan terhadap pekerja rumah tangga sebagai pekerja, jumlah upah minimum, kontrak kerja, jam kerja/waktu, kesehatan, keselamatan kerja, waktu istirahat, cuti, perlindungan terhadap kekerasan fisik maupun psikis, standar kompetensi PRT, serta aspek sosial dan budaya hukum masyarakat pengguna jasa PRT di daerah.

Interpretasi pemerintah terhadap UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati “pekerja” didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain”. Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” di dalam artian UU tersebut. Karena PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak diberikan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pekerja lainnya. Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan penafsiran terhadap substansi UU No.13 Tahun 2003 tersebut dengan demikian secara hukum keberadaan PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum.

Secara yuridis, PRT memang bebas, sebab negara kita melarang perbudakan dan perhambaan. Tapi dari kacamata sosiologis, yang terjadi justru sebaliknya. PRT tidak bebas. Sebagai orang yang memiliki keterbatasan bekal hidup selain tenaganya, PRT terpaksa bekerja pada orang lain dalam hal ini pemberi kerja yang memiliki otoritas menentukan syarat-syarat kerja. Relatif rendahnya tingkat pendidikan menutup kemampuan PRT mengekpos hak-haknya serta tak dapat merespon berbagai informasi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Selama aturan main hubungan PRT dengan pemberi kerja diserahkan kepada kedua belah pihak, maka sukar dicapai suatu keseimbangan kepentingan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan.

Perlu diingat bahwa dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan adanya naskah akademik yang dihimpun dari persoalan-persoalan yang terjadi di maysyarakat terkait dengan perlindungan pekerja rumah tangga. RUU PPRT merupakan ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pekerja domestik. Undang-undang yang ada sebelumnya masih bersifat umum, sehingga belum mengakomodir persolaan perlindungan pekerja rumah tangga. Undang-undang yang bisa dikaitkan dengan pekerja rumah tangga adalah Undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga (PTKDRT) dan undang-undang perlindungan anak.

Dalam undang-undang ketenaga kerjaan pekerja rumah tangga belum diatur secara detail tentang dasar terminology pekerja rumah tangga. Akan tetapi konvensi ILO menegaskan bahwa pekerja rumah tangga yang sebelumnya dikenal dengan pembantu rumah tangga sudah diakui dan dianggap sebagai tenaga kerja.
Kaitannya dengan undang-undang PTKDRT subyek hukum yang diatur masih belum jelas sehingga pekerja rumah tangga belum menjadi bagian dari subyek hukum dalam undang-undang PTKDTR. Selanjutnya kaitannya dengan undang-udang perlindungan anak, adalah tentang batasan usia dan adanya kegiatan mempekerjakan pekerja rumah tangga dibawah usia 15 tahun dan masalah eksploitasi terhadap anak, nantinya akan mengacu pada undang-udang perlindungan anak ini, akan tetapi lingkup pengawasan terhadap pekerja anak ini harus dilakukan, dalam rangka melindungi anak dan terhindar dari eksploitasi pekerja anak.

Jumlah PRT di Indonesia yang mencapai 10.744.887. Sekitar 67 persennya dari rumah tangga kelas menengah dan menengah atas telah mempekerjakan PRT. Dengan maraknya kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) di Indonesia, maka PRT memerlukan payung hukum. Kita mengharapkan kepada DPR untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) menjadi undang-undang.

Dengan adanya undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga, dapat memberikan perlindungan dan menjamin pemenuhan hak-hak pembantu rumah tangga seperti jam kerja, kepastian upah, bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan.

Yang perlu diingat bagi para pemberi kerja bahwa PRT merupakan sebuah profesi yang harus dikelola secara sistemik dan tidak lepas dari jangkauan hukum, dan perlu digaris bawahi bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechstaats) bukan negara kekuasaan (machstaats). Indikator konsistensi dimaksud bukan terletak pada seberapa banyak produk hukum yang dibuat tetapi sejauhmanakah hukum yang ada secara nyata dapat dirasakan manfaatnya bagi yang membutuhkan, termasuk PRT.




Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Dono Ngeyel. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top