Blogger news

Wednesday, October 29, 2014

Muhamad Arsyad dan Undang-Undang ITE

9:48 AM

Berinteraksi melalui dunia maya kian menjadi kebutuhan. Melalui wadah blog, misalnya, para penggunanya bisa mengekspresikan diri dengan bebas secara mudah, murah, dan cepat. Para pemilik blog tidak hanya perorangan, melainkan lembaga, komunitas, dan lain sebagainya. Melalui blog, mereka saling bertukar informasi dan berekspresi, sehingga sarana ini kian menjawab kebutuhan informasi.

Tetapi pengguna blog harus hati-hati dan ekstra waspada. Pasalnya, jika materi blog dianggap menghina seseorang, pemilik blog tersebut bisa diancam pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar. Adalah Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan ancaman itu. Secara lengkap, ayat itu berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Selanjutnya, tercantum di Pasal 45 UU ITE, sanksi pidana bagi pelanggar pasal 27 ayat (3) yaitu penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

Itu yang dialami oleh Muhamad Arsyad. Kamis 23 Oktober 2014 adalah hari yang paling menyedihkan buat Muhamad Arsyad.Warga Jalan Haji Jum RT 09/01 Kelurahan Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur ini ditangkap oleh empat penyidik Mabes Polri berpakaian sipil. Dia dilangsung dibawa ke Mabes Polri, dan dalam waktu 1×24 jam langsung dilakukan penahanan. Pria yang kerap disapa Imen itu, hanyalah seorang tukang tusuk sate, dia dilaporkan tanggal 27 Juli 2014 oleh  politikus PDIP Henry Yosodiningrat sebagai koordinator tim hukum Jokowi-JK.

Seperti yang dilansir dari dakwatuna.com – Jakarta, Henry mengungkapkan alasan tim hukum melaporkan Muhamad Arsyad ”Dia merekayasa foto seronok Jokowi dengan Megawati dan ditambahkan kalimat-kalimat yang merendahkan. Ini persoalannya bukan dia tukang sate atau bukan. Tapi ini telah merendahkan martabat Jokowi,” kata Henry.

Nasib yang dialami Muhamad Arsyad itu bukan pertama kalinya, sebelumnya ada kasus Florence Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada Yogyakarta, harus mendekam di sel Polda DIY usai dilaporkan menghina masyarakat Yogya di akun Path miliknya. Florenc. Sejak UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan April 2008, regulasi ini sudah menjerat beberapa korban di platfrom elektronik. Menurut Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet di Indonesia ICT Watch, UU itu telah memakan 32 korban pencemaran nama baik. 

Apa makna berita tersebut? Jelas, peringatan bagi para user internet, blogger, Facebooker dan pengguna jejaring sosial lainnya, termasuk media online, untuk tidak melanggar Undang-Undang ITE.
UU ITE singkatan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlaku sejak 21 April 2008. Sudah banyak user atau orang yang dipenjara dengan dakwaan pasal tersebut.
Southeast Asia Freedom of Expression (SafeNet Voice), sebuah gerakan yang mempromosikan kebebasan berbicara di Asia Tenggara, telah mengkaji UU ITE di Indonesia di kutip dari Tech In Asia yang di posting 10 September 2014, meskipun mereka percaya UU ITE diperlukan untuk mengatur aktivitas online, UU tersebut memiliki beberapa celah yang harus diperbaiki :
1.        Tidak jelas apakah pelanggaran UU ITE masuk dalam hukum perdata atau pidana Karena pencemaran nama baik bisa menjadi kasus perdata dan pidana di Indonesia, pemerintah perlu memperjelas hal ini. Australia, misalnya, mengatur bahwa setiap kasus pencemaran nama baik yang merugikan individu harus dianggap sebagai pelanggaran perdata. Saat insiden bisa mempengaruhi masyarakat, seperti membahayakan keamanan publik, maka dapat dianggap sebagai tindak pidana. Karena parameternya belum didefinisikan secara jelas di Indonesia, ada beberapa insiden kecil yang harusnya masuk dalam kasus perdata bukan kasus pidana. Salah satunya adalah insiden pada tahun 2010 yang melibatkan dua siswa SMA yang mengina satu sama lain di Facebook. Pada akhirnya salah satu dari mereka mengajukan gugatan, dan berhasil membuat siswa lainnya divonis bersalah. Siswa tersebut akhirnya dihukum dua bulan dan 15 hari penjara, tapi tidak harus menjalani hukuman kurungan apabila tidak melanggar hukum selama lima bulan.

2.         Penegak hukum tidak sepenuhnya memahami cara penanganan kasus pencemaran nama baik secara online Ada satu kasus tentang Donny Iswandono, wartawan yang dituntut dengan UU ITE karena menulis artikel tentang korupsi di Kabupaten Nias Selatan. Donny mengklaim telah mengikuti etika jurnalistik dengan meminta komentar Bupati sebelum menerbitkan artikel itu, tapi diabaikan. Indonesia Corruption Watch (ICW) percaya bahwa polisi seharusnya memprioritaskan penyidikan kasus terhadap korupsi Bupati dibanding tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukan Donny, kasus Benny Handoko, yang dinyatakan bersalah telah melakukan pencemaran nama baik melalui tweet-nya. bahwa hakim tidak mengikuti protokol umum untuk mengevaluasi bukti forensik digital yang diperlukan untuk mengetahui “niat” dalam memfitnah orang. Untuk mengetahui apakah seseorang memiliki niatan atau tidak, pelaku harus terbukti mencemarkan nama baik seseorang lebih dari sekali. Hakim mengabaikan digital forensik yang diajukan oleh pengacara pembela. Selain itu, melaporkan seseorang ke polisi juga sangat mudah.

3.         Hukuman tidak selalu sesuai, dua contoh terbaru yakni Florence Sihombing dan Kemal. Keduanya merupakan kasus dimana jaksa ingin menegakkan etika internet baik dalam masyarakat. Ia percaya bahwa jika pemerintah ingin mendidik netizen tentang etika online, maka mereka harus mengajarkan masyarakat tentang itu. Pendidikan merupakan pendekatan yang lebih langsung daripada memasukkan seseorang di penjara. “Saya pikir mereka tidak akan belajar banyak tentang etika dalam penjara,” katanya.


4.         Pemerintah harus lebih konsisten menginvestigasi kasus-kasus yang lebih serius di Indonesia Pemilihan presiden yang lalu memunculkan banyak kampanye hitam yang menargetkan calon presiden. Di sinilah UU ITE tentang pencemaran nama baik bisa memainkan peran besar. Namun kenyataannya, tidak ada penangkapan yang terjadi.

UU ITE juga dianggap menerapkan hukuman yang tidak proporsional untuk kasus pencemaran nama baik jika dibandingkan dengan kasus pidana ringan. Mereka yang terbukti bersalah di bawah hukum pidana, misalnya, dapat dihukum sampai sembilan bulan penjara atau denda hingga Rp 4.500. UU ITE memberikan hukuman hingga enam tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 1 miliar.

Pelapor khusus kebebasan berekspresi PBB Frank La Rue mengatakan bahwa pencemaran nama baik secara online harusnya memiliki hukuman yang lebih ringan bila dibandingkan dengan kasus pencemaran nama baik yang terjadi di media cetak. Karena dalam kasus online, individu yang bersangkutan bisa segera “menggunakan haknya untuk membalas langsung guna menanggulangi kerugian yang terjadi.”

Selain itu, ada juga beberapa bagian dalam UU ITE yang mempunyai banyak interpretasi. UU ITE memungkinkan Anda menuntut seseorang yang membuat Anda merasa “tersinggung”, “takut”, atau “terprovokasi”. Tentu UU ini sangat subjektif. Seseorang mungkin merasa terhina hanya dengan membaca status media sosial yang di-posting oleh seseorang yang mereka tidak tahu, sementara seseorang yang lainnya mungkin hanya akan mengabaikannya.

Beberapa orang berpendapat bahwa karena UU ITE mengatur sengketa antara individu, maka mungkin lebih tepat memasukkannya pada hukum perdata daripada pidana. Badan internasional seperti PBB dan Organization for Security and Co-operation di Eropa juga menyerukan dekriminalisasi pencemaran nama baik karena membatasi kebebasan berekspresi.






Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Dono Ngeyel. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top