Berinteraksi melalui dunia maya kian
menjadi kebutuhan. Melalui wadah blog, misalnya, para penggunanya bisa
mengekspresikan diri dengan bebas secara mudah, murah, dan cepat. Para pemilik
blog tidak hanya perorangan, melainkan lembaga, komunitas, dan lain sebagainya.
Melalui blog, mereka saling bertukar informasi dan berekspresi, sehingga sarana
ini kian menjawab kebutuhan informasi.
Tetapi pengguna blog harus hati-hati dan
ekstra waspada. Pasalnya, jika materi blog dianggap menghina seseorang, pemilik
blog tersebut bisa diancam pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar.
Adalah Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan ancaman itu. Secara lengkap, ayat
itu berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik." Selanjutnya, tercantum di Pasal 45 UU ITE, sanksi pidana bagi
pelanggar pasal 27 ayat (3) yaitu penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1
miliar.
Itu yang dialami oleh Muhamad Arsyad. Kamis 23 Oktober
2014 adalah hari yang paling menyedihkan buat Muhamad Arsyad.Warga Jalan Haji Jum RT
09/01 Kelurahan Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur ini ditangkap oleh empat penyidik Mabes Polri berpakaian sipil. Dia dilangsung dibawa ke Mabes
Polri, dan dalam waktu 1×24 jam langsung dilakukan penahanan. Pria yang kerap
disapa Imen itu, hanyalah seorang tukang tusuk sate, dia dilaporkan tanggal 27 Juli 2014 oleh
politikus PDIP
Henry Yosodiningrat sebagai koordinator tim hukum Jokowi-JK.
Seperti
yang dilansir dari dakwatuna.com – Jakarta, Henry mengungkapkan alasan tim hukum melaporkan Muhamad
Arsyad ”Dia merekayasa foto seronok Jokowi dengan
Megawati dan ditambahkan kalimat-kalimat yang merendahkan. Ini persoalannya
bukan dia tukang sate atau bukan. Tapi ini telah merendahkan martabat Jokowi,”
kata Henry.
Nasib yang dialami Muhamad
Arsyad itu bukan pertama kalinya, sebelumnya ada kasus Florence
Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada Yogyakarta, harus mendekam di
sel Polda DIY usai dilaporkan menghina masyarakat Yogya di akun Path miliknya. Florenc. Sejak UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) disahkan April 2008, regulasi ini sudah menjerat
beberapa korban di platfrom elektronik. Menurut Catatan Ringkas Tata Kelola dan
Praktik Internet di Indonesia ICT Watch, UU itu telah memakan 32 korban
pencemaran nama baik.
Apa makna berita
tersebut? Jelas, peringatan bagi para user internet, blogger, Facebooker dan
pengguna jejaring sosial lainnya, termasuk media online, untuk tidak melanggar Undang-Undang
ITE.
UU ITE singkatan
dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang berlaku sejak 21 April 2008. Sudah banyak user atau orang yang
dipenjara dengan dakwaan pasal tersebut.
Southeast
Asia Freedom of Expression (SafeNet Voice), sebuah gerakan yang mempromosikan kebebasan
berbicara di Asia Tenggara, telah mengkaji UU ITE di Indonesia di kutip dari Tech
In Asia yang di posting 10 September 2014, meskipun mereka percaya UU ITE diperlukan untuk mengatur
aktivitas online, UU tersebut memiliki beberapa celah yang harus diperbaiki :
1.
Tidak jelas apakah pelanggaran UU ITE masuk dalam hukum
perdata atau pidana Karena pencemaran nama baik bisa menjadi kasus perdata dan
pidana di Indonesia, pemerintah perlu memperjelas hal ini. Australia, misalnya,
mengatur bahwa setiap kasus pencemaran nama baik yang merugikan individu harus
dianggap sebagai pelanggaran perdata. Saat insiden bisa mempengaruhi
masyarakat, seperti membahayakan keamanan publik, maka dapat dianggap sebagai
tindak pidana. Karena parameternya belum didefinisikan secara jelas di
Indonesia, ada beberapa insiden kecil yang harusnya masuk dalam kasus perdata
bukan kasus pidana. Salah satunya adalah insiden pada tahun 2010 yang
melibatkan dua siswa SMA yang mengina satu sama lain di Facebook. Pada akhirnya
salah satu dari mereka mengajukan gugatan, dan berhasil membuat siswa lainnya
divonis bersalah. Siswa tersebut akhirnya dihukum dua bulan dan 15 hari
penjara, tapi tidak harus menjalani hukuman kurungan apabila tidak melanggar
hukum selama lima bulan.
2.
Penegak hukum tidak sepenuhnya memahami cara penanganan
kasus pencemaran nama baik secara online Ada satu kasus tentang Donny
Iswandono, wartawan yang dituntut dengan UU ITE karena menulis artikel tentang
korupsi di Kabupaten Nias Selatan. Donny mengklaim telah mengikuti etika
jurnalistik dengan meminta komentar Bupati sebelum menerbitkan artikel itu,
tapi diabaikan. Indonesia Corruption Watch (ICW) percaya bahwa polisi
seharusnya memprioritaskan penyidikan kasus terhadap korupsi Bupati dibanding
tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukan Donny, kasus Benny Handoko, yang
dinyatakan bersalah telah melakukan pencemaran nama baik melalui tweet-nya. bahwa
hakim tidak mengikuti protokol umum untuk mengevaluasi bukti forensik digital
yang diperlukan untuk mengetahui “niat” dalam memfitnah orang. Untuk mengetahui
apakah seseorang memiliki niatan atau tidak, pelaku harus terbukti mencemarkan
nama baik seseorang lebih dari sekali. Hakim mengabaikan digital forensik yang
diajukan oleh pengacara pembela. Selain itu, melaporkan seseorang ke polisi
juga sangat mudah.
3.
Hukuman tidak selalu sesuai, dua contoh terbaru yakni
Florence Sihombing dan Kemal. Keduanya merupakan kasus dimana jaksa ingin
menegakkan etika internet baik dalam masyarakat. Ia percaya bahwa jika
pemerintah ingin mendidik netizen tentang etika online, maka mereka harus
mengajarkan masyarakat tentang itu. Pendidikan merupakan pendekatan yang lebih
langsung daripada memasukkan seseorang di penjara. “Saya pikir mereka tidak
akan belajar banyak tentang etika dalam penjara,” katanya.
4.
Pemerintah harus lebih konsisten menginvestigasi
kasus-kasus yang lebih serius di Indonesia Pemilihan presiden yang lalu
memunculkan banyak kampanye hitam yang menargetkan calon presiden. Di sinilah
UU ITE tentang pencemaran nama baik bisa memainkan peran besar. Namun
kenyataannya, tidak ada penangkapan yang terjadi.
UU ITE juga dianggap
menerapkan hukuman yang tidak proporsional untuk kasus pencemaran nama baik
jika dibandingkan dengan kasus pidana ringan. Mereka yang terbukti bersalah di
bawah hukum pidana, misalnya, dapat dihukum sampai sembilan bulan penjara atau
denda hingga Rp 4.500. UU ITE memberikan hukuman hingga enam tahun penjara
dan/atau denda hingga Rp 1 miliar.
Pelapor khusus
kebebasan berekspresi PBB Frank La Rue mengatakan bahwa pencemaran nama baik
secara online harusnya memiliki hukuman yang lebih ringan bila dibandingkan
dengan kasus pencemaran nama baik yang terjadi di media cetak. Karena dalam
kasus online, individu yang bersangkutan bisa segera “menggunakan haknya untuk
membalas langsung guna menanggulangi kerugian yang terjadi.”
Selain itu, ada juga
beberapa bagian dalam UU ITE yang mempunyai banyak interpretasi. UU ITE
memungkinkan Anda menuntut seseorang yang membuat Anda merasa “tersinggung”,
“takut”, atau “terprovokasi”. Tentu UU ini sangat subjektif. Seseorang mungkin
merasa terhina hanya dengan membaca status media sosial yang di-posting oleh
seseorang yang mereka tidak tahu, sementara seseorang yang lainnya mungkin
hanya akan mengabaikannya.
Beberapa orang
berpendapat bahwa karena UU ITE mengatur sengketa antara individu, maka mungkin
lebih tepat memasukkannya pada hukum perdata daripada pidana. Badan
internasional seperti PBB dan Organization for Security and Co-operation di
Eropa juga menyerukan dekriminalisasi pencemaran nama baik karena membatasi
kebebasan berekspresi.
0 comments:
Post a Comment