Blogger news

Tuesday, December 9, 2014

Pembantu Rumah Tangga Riwayatmu





Lagi-lagi kita dikejutkan dengan berita tentang penyiksaan disertai pembunuhan yang dilakukan oleh tersangka Samsul Anwar bersama istrinya Radika dan 5 anggota keluarga lainnya diduga menganiaya 2 PRT hingga tewas. 3 Pembantu lainnya yang berhasil diselamatkan juga kerap disiksa. Kasus ini terbongkar setelah polisi mendapat laporan terjadi perdagangan manusia di Jalan Beo simpang Angsa No 17, Medan, Sumatera Utara. Penyiksaan terhadap pembantu rumah rumah tangga yang berujung dengan kematian bukanlah hal yang pertama terjadi di Indonesia dan ini juga bukan yang terakhir, karena akan terus terjadi selama pembantu rumah tangga tidak mempunyai payung hukum.

Hingga kini eksistensi hukum tentang pembantu rumah tangga masih menjadi polemik dalam ranah perdebatan mengenai kategorisasi. Dalam arti, apakah pembantu rumah tangga termasuk kategori buruh/pekerja atau bukan. Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak secara tegas mengakomodasikan tentang pembantu rumah tangga, apalagi menyangkut aspek perlindungan hukumnya. Persoalannya adalah, ke mana seorang pembantu rumah tangga akan mengadu jika dirugikan atau diperlakukan semena-mena oleh pemberi kerja.

Pembantu rumah tangga berhak mendapat kondisi kerja yang layak. ILO menghasilkan Konvensi ILO No. 189 Mengenai Kerja Layak pembantu rumah tangga. Konvensi ini merupakan perlindungan bagi pembantu rumah tangga di seluruh dunia. Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya Konferensi tahunan ILO ke-100 menghasilkan Konvensi ILO No. 189 Mengenai Kerja Layak pembantu rumah tangga. Konvensi yang merupakan perlindungan bagi pembantu rumah tangga di seluruh dunia ini akan menjadi landasan untuk memberi pengakuan dan menjamin pembantu rumah tangga mendapatkan kondisi kerja layak sebagaimana pekerja di sektor lain.
Namun demikian keberadaan Konvensi ILO No. 189 tidak serta merta dirasakan secara konkrit sebagai payung perlindungan sebelum diratifikasi melalui sistem perundangan formal di Indonesia.

Sebelumnya di Indonesia terdapat undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, undang-undnag nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Tetapi kesemua undang-undang tersebut secara khusus tidak ada yang mengatur tentang pembantu rumah tangga terkait dengan aspek pengakuan terhadap pekerja rumah tangga sebagai pekerja, jumlah upah minimum, kontrak kerja, jam kerja/waktu, kesehatan, keselamatan kerja, waktu istirahat, cuti, perlindungan terhadap kekerasan fisik maupun psikis, standar kompetensi PRT, serta aspek sosial dan budaya hukum masyarakat pengguna jasa PRT di daerah.

Interpretasi pemerintah terhadap UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati “pekerja” didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain”. Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” di dalam artian UU tersebut. Karena PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak diberikan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pekerja lainnya. Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan penafsiran terhadap substansi UU No.13 Tahun 2003 tersebut dengan demikian secara hukum keberadaan PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum.

Secara yuridis, PRT memang bebas, sebab negara kita melarang perbudakan dan perhambaan. Tapi dari kacamata sosiologis, yang terjadi justru sebaliknya. PRT tidak bebas. Sebagai orang yang memiliki keterbatasan bekal hidup selain tenaganya, PRT terpaksa bekerja pada orang lain dalam hal ini pemberi kerja yang memiliki otoritas menentukan syarat-syarat kerja. Relatif rendahnya tingkat pendidikan menutup kemampuan PRT mengekpos hak-haknya serta tak dapat merespon berbagai informasi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Selama aturan main hubungan PRT dengan pemberi kerja diserahkan kepada kedua belah pihak, maka sukar dicapai suatu keseimbangan kepentingan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan.

Perlu diingat bahwa dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan adanya naskah akademik yang dihimpun dari persoalan-persoalan yang terjadi di maysyarakat terkait dengan perlindungan pekerja rumah tangga. RUU PPRT merupakan ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pekerja domestik. Undang-undang yang ada sebelumnya masih bersifat umum, sehingga belum mengakomodir persolaan perlindungan pekerja rumah tangga. Undang-undang yang bisa dikaitkan dengan pekerja rumah tangga adalah Undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga (PTKDRT) dan undang-undang perlindungan anak.

Dalam undang-undang ketenaga kerjaan pekerja rumah tangga belum diatur secara detail tentang dasar terminology pekerja rumah tangga. Akan tetapi konvensi ILO menegaskan bahwa pekerja rumah tangga yang sebelumnya dikenal dengan pembantu rumah tangga sudah diakui dan dianggap sebagai tenaga kerja.
Kaitannya dengan undang-undang PTKDRT subyek hukum yang diatur masih belum jelas sehingga pekerja rumah tangga belum menjadi bagian dari subyek hukum dalam undang-undang PTKDTR. Selanjutnya kaitannya dengan undang-udang perlindungan anak, adalah tentang batasan usia dan adanya kegiatan mempekerjakan pekerja rumah tangga dibawah usia 15 tahun dan masalah eksploitasi terhadap anak, nantinya akan mengacu pada undang-udang perlindungan anak ini, akan tetapi lingkup pengawasan terhadap pekerja anak ini harus dilakukan, dalam rangka melindungi anak dan terhindar dari eksploitasi pekerja anak.

Jumlah PRT di Indonesia yang mencapai 10.744.887. Sekitar 67 persennya dari rumah tangga kelas menengah dan menengah atas telah mempekerjakan PRT. Dengan maraknya kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) di Indonesia, maka PRT memerlukan payung hukum. Kita mengharapkan kepada DPR untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) menjadi undang-undang.

Dengan adanya undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga, dapat memberikan perlindungan dan menjamin pemenuhan hak-hak pembantu rumah tangga seperti jam kerja, kepastian upah, bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan.

Yang perlu diingat bagi para pemberi kerja bahwa PRT merupakan sebuah profesi yang harus dikelola secara sistemik dan tidak lepas dari jangkauan hukum, dan perlu digaris bawahi bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechstaats) bukan negara kekuasaan (machstaats). Indikator konsistensi dimaksud bukan terletak pada seberapa banyak produk hukum yang dibuat tetapi sejauhmanakah hukum yang ada secara nyata dapat dirasakan manfaatnya bagi yang membutuhkan, termasuk PRT.




Monday, December 8, 2014

ADA APA DENGAN KURIKULIM 13



Kurikulum 13 yang digadang-gadang Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh bahwa kompetensi guru lebih baik setelah menerapkan Kurikulum 2013 dibanding kurikulum sebelumnya yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Tetapi kenyataan yang ada di lapangan baik siswa, orang tua murid dan guru sama-sama bingung dalam melaksanakan kurikulum 13.
Kurikulum yang konon kabarnya akan lebih memanusiakan anak didik itu pada kenyataannya justru memberikan beban kepada banyak pihak yaitu :
1.        Guru
Guru kesulitan dalam mengapilkasikan sistim penilaian yang ada dalam kurikulum ini, terutama begitu banyaknya lembaran isian yang harus dikerjakan guru. Sebagai contoh untuk penilaian sikap spiritual dan sikap sosial, akan menyita tidak sedikit waktu guru.

Ditambah lagi penilaian pengetahuan dan keterampilan yang juga membutuhkan waktu tidak sedikit, tentunya akan menjadi beban bagi guru. Sebagai contoh, untuk seorang guru sertifikasi dengan jam wajib 24 jam, perinciaannya misalnya pelajaran bahasa Inggris untuk 24 mengampu enam rombongan belajar dikalikan setiap rombongan belajar ada 30 siswa, maka akan ada 180 siswa yang menjadi tugas guru tersebut. Dengan empat aspek penilaian, kita tinggal kalikan saja 180 siswa kali empat.

Bagi guru yang menjadi wali kelas, mempunyai tugas tambahan misalnya, penilaiannya akan semakin banyak terutama adanya penilaiaan deskriptif pada rapor. Tentu ini akan semakin sulit.

Lain lagi masalah, misalnya digunakan sistem aplikasi dalam penilaian rapor, tidak semua wali kelas melek komputer. Jadi, intinya hal ini akan jadi masalah utama selain masalah-masalah lain yang dikeluhkan guru.

Penambahan beban belajar di semua jenjang pendidikan. Kebijakan penambahan jam ini dimaksudkan agar guru memiliki waktu yang lebih leluasa untuk mengelola dan mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi (berpusat) pada siswa atau mengembangkan pembelajaran aktif,  beserta proses penilaiannya. Justru membuat guru tidak mempunyai waktu lagi untuk keluarganya.

2.        Orang Tua
Para orang tua mengeluhkan pekerjaan rumah anaknya semakin menumpuk. Setiap hari anak tidak pernah absen membawa pekerjaan rumah yang bebannya melebihi kemampuan sang anak dan orang tua yang berlatar belakang pendidikan pas-pasan.

Orang tua siswa diharapkan mampu menjadi guru untuk membantu proses belajar siswa ketika di rumah. Permasalahan yang ditimbulkan disini adalah tidak kebanyakan orang tua siswa berasal dari kalangan akademis yang memiliki kemampuan berpikir yang baik. Kebanyakan dari mereka justru berasal dari golongan menengah ke bawah. Untuk membantu pembelajaran dalam bidang matematika, b indo, ipa, dsb masih sulit apalagi dengan mata pelajaran yang jadi satu disini. Hal ini bahkan sempat dikeluhkan oleh salah satu wali murid yang berasal dari golongan akademis bahwa beliau tidak tahu mau membantu mengajari anaknya seperti apa karena beliau tidak tahu rancangan dari buku panduan kurikulum 2013 ini.

3.        Siswa
Banyaknya tugas yang diberikan kepada para siswa. Para siswa dituntu untuk mampu menyelesaikan banyak tugas dengan cara bekerja secara kelompok. Namun pada penerapannya banyak tugas yang diberikan merupakan tugas dasar yang repetitive sehingga hal itu tidak menambah pengetahuan para siswa, namun justru mendidik siswa untuk memiliki daya tahan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan banyak namun mudah secara berulang-ulang.

Mengharuskan pelajar untuk menguasai banyak materi pelajaran, tetapi tak menguasainya secara utuh sehingga membuat pelajar menjadi tidak fokus. Sehingga tak ada satu pun bidang mata pelajaran yang benar-benar dikuasai secara mendalam.

Muhammad Nuh selalu bilang di media, “di Kurikulum baru, guru tak perlu lagi bikin silabus”. Sungguh sebuah pembodohan yang terstrukturisasi. Guru hanya diminta untuk menjadi makhluk penurut dan memenuhi keinginan sang penguasa. Guru tak menjadi lagi orang yang merdeka, dan memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Guru tak lagi menjadi seperti mata air yang selalu menghapus dahaga peserta didiknya akan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Guru hanya sekedar menjadi “tukang”, dan bukan lagi arsitek pembelajaran. Lebih celaka lagi matpel TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), dan beberapa pelajaran lainnya yang disukai siswa justru dihapuskan dalam struktur kurikulum 2013. Padahal peserta didik sangat senang sekali pelajaran TIK, tapi menurut pejabat tim pengembang kurikulum, mata pelajaran ini akan diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. TIK dianggap hanya sebuah tools, dan bukan lagi sains. Tak jelas bentuk pelatihannya, dan katanya sedang dipikirkan. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan dikeluarkan sementara masih dipikirkan? Ini menandakan bahwa pemerintah masih belum siap dengan penerapan kurikulum baru. Akibatnya banyak guru yang akhirnya dirugikan, terutama sertifikasi gurunya.

Kita tentu maklum kurikulum sudah seringkali berubah, namun ternyata tidak memecahkan masalah. Mengapa kita tak pernah belajar dari sejarah? Selalu melakukan hal yang sama, dan terperosok dalam lubang yang sama? Kasihan para peserta didik kita. Mereka hanya menjadi kelinci percobaan kaum penguasa. Mereka dijadikan “trial and error” dari sebuah penelitian kebijakan yang berbasis “proyek”. Pantas saja pendidikan menjadi mahal di negeri ini. Si miskin menjadi sulit mendapatkan pendidikan yang baik.

Ada apa dengan kurikulum 13 dan mengapa guru harus menolak kurikulum 2013? Sebab kurikulum ini syarat dengan kepentingan politik. Kurikulum itu tak lagi bernuansa akademik dan terlalu dipaksakan penerapanannya. Padahal kalau mau jujur, kurikulum ini belum tentu mampu menjawab persoalan pendidikan yang ada saat ini. Guru-guru justru malah dibuat bingung dengan kurikulum baru. Seminar dan bedah kurikulum 2013 digelar di berbagai tempat, namun hasilnya belum cukup memuaskan semua pihak.

Sementara itu, dari sisi akademik, kurikulum ini belum sepenuhnya dikaji secara ilmiah. Masih banyak dosen atau guru besar di perguruan tinggi yang menanyakan kajian ilmiahnya. Kompetensi Inti dan Kompetensi dasarnya masih bermasalah, termasuk juga indikatornya. Kesannya, kurikulum ini hanya menggunakan pendekatan kekuasaan saja, dan bukan lagi pendekatan akademik. Berbagai dokumen penting kurikulum sengaja tak dilempar ke publik, sebab mereka takut mendapatkan kritik. Guru dipaksa untuk siap menerima kurikulum yang belum siap implementasinya di lapangan. Guru dipaksa untuk menerimanya dengan bulat-bulat.

Kalau mau jujur, kurikulum 2013 bukanlah jawaban dari peningkatan kinerja pendidikan melalui kurikulum, guru, dan lama tinggal di sekolah. Anggaran dana sebesar Rp. 2,49 Trilyun untuk kurikulum 2013 terdiri atas anggaran melekat dan anggaran langsung cuma akal-akalan pemerintah agar dana ini dapat dicairkan dengan dalih  pendidikan kunci pembangunan yang pernah dituliskan pak Wapres Budiono di koran Kompas beberapa waktu lalu.

Kemendikbud seperti tak pernah berhenti bereksperimen, celakanya, atas beban guru, orang tua murid dan anak didik. Tempo hari ada eksperimen RSBI yang menelan dana triliunan rupiah, tapi kemudian ditutup begitu saja. Kita patut mengkhawatirkan eksperimen baru ini bersifat tambal sulam, apalagi jelas-jelas persiapannya tidak matang, sehingga hasilnya pun tidak akan maksimal.

Fakta menunjukkan adanya kelemahan manajerial. Itu terlihat dari banyaknya persoalan yang muncul. Ada kasus UN yang amburadul, peredaran buku-buku kualitas "sampah" di sekolah, juga indikasi korupsi. Mengherankan juga mantan Menteri Nuh sangat percaya diri memberlakukan Kurikulum 2013, meski ia dikritik tidak memiliki kepekaan moral untuk mempertanggungjawabkan kebobrokan lembaganya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak serius dalam menyiapkan kurikulum 2013. Dengan masih disusunnya beberapa buku mata pelajaran di tingkat sekolah menengah atas, dan pelatihan guru yang belum rampung. Menunjukan pendidikan selalu dikaitkan dengan kepentingan politik jangka pendek tanpa mau belajar kesalahan sebelumnya.

Kurikulum baru ini hanya sekadar proyek yang dipaksakan. Bila ini diteruskan, anak akan jadi korban dari politik pendidikan penguasa. Kurikulum 13 hanya mengikuti selera pemegang kekuasaan tanpa memikirkan anak sebagai aset bangsa.
Segala persiapan kurikulum yang terburu-buru, merupakan pola pikir politik sempit yang hanya sekadar politik pencitraan. "Ini bukti penguasa tidak mau memahami substansial pendidikan.

Sebenarnya kunci untuk pengembangan kualitas pendidikan adalah pada guru. Kita tidak boleh memandang bahwa pergantian kurikulum secara otomatis akan meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimanapun juga di tangan gurulah proses peningkatan itu bisa terjadi dan di tangan Kepala Sekolah yang baik dapat terjadi peningkatan kualitas ekosistem pendidikan di sekolah yang baik pula. Peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan akan makin digalakkan sembari kurikulum ini diperbaiki dan dikembangkan.


Solusi terbaik bangsa ini adalah menolak dengan tegas kurikulum 2013. Biarkan kurikulum lama dievaluasi lebih dulu. Mari kita melihat kelemahan dan kelebihannya. Lalu kemudian lakukan uji publik. Jangan hanya sepihak saja mengatakan bahwa kurikulum 2006 atau KTSP tidak bagus dan harus diganti. Segala sesuatu itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan penelitian yang tingkat validitasnya tak diragukan. Transparansi atau keterbukaan harus dikedepankan demi menjunjung nilai kejujuran dan sikap demokratis. Sehingga tak ada omongan lagi, “ganti menteri, ganti kurikulum.”

Saturday, December 6, 2014

IMPOR DARI ANGOLA SUDAH TEPATKAH





Sonangol EP namanya ramai di perbincangkan menyangkut kerjasamanya dengan pemerintah Indonesia soal pembelian minyak mentah.
Grup Sonangol EP dikuasai konglomerat China bernama Sam Pa merupakan kongsi lama Surya Paloh. Tahun 2009, Surya Energi mendapat pinjaman modal dari China Sonangol International Holding Ltd. Anak usaha Sonangol EP tersebut menyuntikkan dana 200 juta dollar AS ke Surya Energi untuk menggarap Blok Cepu.
Untuk kita ketahui bersama bahwa Surya Energi adalah pemilik 75 persen saham PT Asri Darma Sejahtera. Sementara 25 persen saham perusahaan ini  dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Jawa  Timur. Asri Darma inilah yang memboyong 4,5 persen saham blok minyak jumbo di Cepu

Apakah benar dengan membeli minyak dari Angola akan memberikan penghematan kepada negara sebesar 25 persen? Sebelum kita terjebak dengan keuntungan karena diskon USD15 bbl dari harga pasar minyak dunia dan penghematan Pemerintah sekitar Rp 11 triliun sampai Rp 15 triliun, sebaiknya kita perlu mempertanyakan kenapa pemerintah Angola melalui Sonangol EP bersedia menjual minyak ke Indonesia dengan discount sekitar 25 persen, apa pertimbangannya dan apa kepentingannya? Mengapa mereka tidak memberlakukan hal yang sama kepada negara lain yang juga banyak membutuhkan pasokan minyak.

Dan juga yang harus diketahui oleh masyarakat tentang harga jual minyak murah 25 persen itu seperti apa. Apakah harga jual minyak dari Sonangol lebih murah 25 persen dari standar harga minyak dunia. Jika saat ini harga minyak dunia rata rata diangka USD86 per barel, maka apakah Sonangol akan menjual ke Indonesia dengan harga di sekitar USD64,5 per barel?

Selain itu, perlu diteliti, apakah Sonangol EP menguasai 100 persen hasil minyak yang dihasilkan dari negaranya.
“Sebab, berdasarkan data Energy Intelegence Research, yang mereka lansir pada 2011, Chevron dan Exxon turut terlibat dalam pengelolaan migas di negeri Angola yang bekerjasama dengan Sonangol EP, NOC-nya Angola.

Menurut Data pihak Energy Intelegence Research , sebuah badan internasional yang menghimpun data terkait perusahaan migas diseluruh dunia, saham perusahaan minyak lainnya itu dalam pengelolaan migas di Angola prosentasenya bahkan lebih besar dari pihak Sonangol EP.

Energi Intelegence Research merilis bahwa jenis crude asal Angola terdiri dari lima jenis yakni :
v  Untuk Crude Jenis Cabinda yang untuk pengelolaan jenis crude ini terdapat saham Chevron sebesar 39,2 persen, Total 10 persen, Eni 9,8 persen, dan Sonangol 41 persen.

v  Untuk Crude Jenis Girassol, Total dan Sonangol 40 persen, Exxon 20 persen, BP 16,67 persen, dan Statoil 23,33 persen.

v  Untuk Crude Jenis Kisasanje Blend, Exxon 40 persen, BP 26,6 persen, ENI 20 persen, dan Statoil 13,33 persen.

v  Untuk Crude Jenis Kuito, Chevron 31 persen, Sonangol 20 persen, Total 20 persen, ENI 20 persen, dan Petrogal 9 persen.

v  Untuk Crude Jenis Cabinda, Chevron 39,2 persen, Sonangol 41 persen, Total 10 persen, dan ENI 9,8 persen. “Logikanya, untuk menjual minyak kemanapun, tentunya harga jualnya harus berdasarkan persetujuan dari pihak tersebut,” sebut Sofyano.
Dan pemerintah perlu mempertanyakan, apakah perusahaan minyak yang menguasai  juga setuju pihak Sonangol menjual minyak ke Indonesia dengan harga yang lebih murah 25 persen ketimbang mereka menjual ke negara lain.
Dengan menjual ke Indonesia dengan harga murah tersebut, apakah tidak akan timbul konflik kepentingan antar perusahaan yang telah lama bekerjasama dengan Sonangol EP tersebut. “Jika yang dimaksud menghemat 25 persen itu adalah harga jual atau diskon untuk harga minyak Angola jelas itu sangat tidak bisa dipercaya begitu saja.  

Presiden Joko Widodo telah menandatangani perjanjian kerja sama pembelian minyak dengan Wakil Presiden Angola Manuel Domingos Fincente di Istana Merdeka, Jumat 31 Oktober 2014.
Setelah perjanjian ini ditandatangani, direncanakan, Indonesia yang diwakili Pertamina akan membeli minyak dari perusahaan minyak nasional Angola, Sonangol EP.
Menteri Energi Sudirman Said mengatakan pembelian minyak dari Angola ini dapat menghemat pengeluaran negara sebesar USD 2,5 juta atau sekitar Rp 30 triliun per tahun.

Akan tetapi, hal berbeda terlihat dari respons teknis oleh Sonangol Asia per tanggal 20 November 2014, yang menjawab surat Pertamina per tanggal 18 November 2014 mengenai "Counter To The Proposed Contractual Volume 2015". Sonangol secara tegas menjawab permintaan Pertamina mengenai diskon USD 15 /bbl tidak dapat diberikan dan masih mengacu pada normal-market price.

Untuk itu pemerintah harus tegas memeriksa lagi soal tindak lanjut dalam pembicaraan soal kontrak Sonangol ini. Jika tak sesuai kesepakatan atau perjanjian awal, wajib ditolak. Jangan sampai kesepakatan yang ada, justru membuka celah bagi masuknya broker-broker migas baru yang berpotensi menguatkan jejaring mafia migas baru.

Di harapkan sekali kita masyarakat dan DPR RI harus kritis dan mengawasi pola kerjasama pembelian atau pengelolaan migas, termasuk dalam kasus Sonangol ini. Sebab para mafia dan jejaringnya terus berusaha keras untuk membuka celah baru untuk eksistensi mereka. Jika benar Sonangol EP bersedia menjual minyak ke Indonesia dengan diskon sekitar 25 persen, kita perlu mempertanyakan apa pertimbangannya dan apa kepentingannya.




Thursday, December 4, 2014

AHOK APAKAH SESUAI UNDANG-UNDANG




Dengan maraknya pemberitaan tentang, DPR tandingan, Gubenur tandingan, menggelitik hati saya untuk mengintip undang-undang yang mengatur tentang itu semua.
Tentu jelas bagi kita semua bahwa Indonesia adalah negara hukum, setiap kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat tentu berlandaskan hukum.
Yang sedang marak-maraknya pemberitaan adalah pelantikan gubenur tandingan  DKI oleh Koordinator Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) yang terdiri dari 90 ormas termasuk FPI dan FBR. pada hari senin tanggal 01 Desember 2014 pukul 11.10 WIB. Pelantikan' ini dilakukan di sela-sela demo penolakan Gubernur Ahok di depan Gedung DPRD DKI Jakarta.

Biar tidak membuat kepala kita bertambah “mumet” dengan semua pihak yang mengaku lebih berhak dan punya wewenang untuk melantik gubenur DKI, sebaiknya kita urai benang kusut ini agar keruwetan terurai sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dasar hukum dilantiknya Ahok jadi Gubernur DKI menggantikan Jokowi adalah Perppu No 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota serta UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 203 ayat (1) mengatakan “Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya”.

Atas dasar ketentuan peralihan Perppu itulah, maka Ahok dilantik Presiden Jokowi menggantikan dirinya. Andaikata DPR menolak mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2014 menjadi UU, maka pelantikan Ahok menjadi Gubenur DKI tetap sah, sebab penolakan DPR dan pencabutan Perppu tersebut adalah terhitung sejak rapat paripurna DPR yang menolak pengesahan Perppu tersebut menjadi undang-undang. Penolakan pengesahan Perppu tidaklah berlaku surut atau retroaktif, dia berlaku sejak pencabutan itu ke depan.  Perppu tersebut tetap sah berlaku, termasuk segala tindakan yang didasarkan atas Perppu tersebut adalah tetap sah secara hukum.
Dan yang perlu di garis bawahi bahwa perppu diterbitkan untuk merevisi atau mencabut undang-undang. Secata de facto dan de jure, perppu no 1 tahun 2014 itu sudah berlaku.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017 langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu, 19 November 2014. Sesuai dengan pasal 163 perpu no. 1 tahun 2014 ayat (1) Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu kota negara. (2) Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dilakukan oleh Wakil Presiden dan (3) Dalam hal Wakil Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dilakukan oleh Menteri

Pelantikan Ahok jadi gubernur sudah sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan sistem presidensial yang dianut bangsa Indonesia.
Sistem presidensial yang dianut menunjukkan bahwa presiden, kepala daerah baik gubernur maupun bupati dan walikota dipilih langsung oleh rakyat melalui pilpres dan pilkada.







Sunday, November 30, 2014

UNDANG-UNDANG DEMONSTRASI




Dengan maraknya pemberitaan baik di media cetak, media elektronik maupun media online, demontrasi selalu menjadi topik pembicaraan. Baik demontrasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan upah minimum, penolakan tokoh tertentu dan demostrasi lainnya. Baik itu dilakukan oleh mahasiswa, buruh, organisasi masyarakat dan pegawai negeri sipil sekalipun.

Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk berorganisasi merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Ada banyak kejadian lainnya yang juga tercapai karena demonstrasi. Dengan demikian dalam hal ini demonstrasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Hanya saja yang membedakan adalah pada dataran demonstrasi demi tujuan politik praktis atau jangka panjang. Untuk kepentingan masing-masing kelompok atau demi kemaslahatan orang banyak.

Jika kita kaji secara konstitusional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh Pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dasar hukum demonstrasi adalah pasal 28 UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998. Sehingga para peserta demonstrans memiliki legalitas dalam aksinya. Namun di sisi yang lain, hak menyampaikan pendapat di muka umum menjadi terkendala ketika pelaksananya dapat dijerat pidana pasal 160-161 tentang penghasutan.
Maka dalam undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat diatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap masyarakat yang ingim menyampaikan pendapatnnya dan bagi pemerintah agar dapa memberikan perlindungan hukum kepada setiap masyarakat, agar terjaminnya hak menyampaikan pendapat.
Agar Para demonstran tidak mendapat sanksi hukum dalam menyampaikan pendapat di muka umum, hendaknya mmengikuti tata cara demonstrasi menurut undang-undnag Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum
Ø  Tata Cara
1)  Menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Polri yang dilakukan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.
Catatan:  Banyak orang memiliki pemahaman yang salah mengenai pemberitahuan ini. Rencana menyatakan pendapat disampaikan dengan pemberitahuan bukan izin. Sifatnya hanya memberitahukan saja dan Kepolisian tidak berwenang menolak kecuali dalam hal dilarang dalam undang-undang. Hal yang sangat berbeda jika rencana menyatakan pendapat diharuskan dengan izin karena kepolisian menjadi berwenang untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan rencana menyatakan pendapat tersebut.

2)     Pemberitahuan diberikan selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai.

3)    Pemberitahuan memuat: maksud dan tujuan, tempat, lokasi, dan rute, waktu dan lama, bentuk, penanggung jawab,  nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan, alat peraga yang dipergunakan; dan atau jumlah peserta.

4)        Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.

5)        Setelah menerima surat pemberitahuan, Polri wajib :
a.         segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b.        berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;
c.         berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
d.        mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.

6)        Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum waktu pelaksanaan.

Ø  Sanksi :

·        Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998, sanksi terhadap pelanggaran tata cara di atas adalah pembubaran.
·         Berdasarkan Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998, pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dikenakan jika misalkan terjadi perbuatan melanggar hukum seperti penganiayaan, pengeroyokan, perusakan barang, dan bahkan kematian.
·       Berdasarkan Pasal 17 UU No. 9 Tahun 1998 Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok. Terdapat pemberatan hukuman terhadap penanggungjawab yang melakukan tindak pidana.
·        Berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998, setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Dalam praktek, kepolisian sering mengkriminalisasikan para pengunjuk rasa yang menolak membubarkan diri ketika berunjuk rasa dengan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

·           Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

·         Pasal 214 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(1)    Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2)    Yang bersalah dikenakan:
a.  pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka;
b.    pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat;
c.    pidana penjara paling lama lima helas tahun, jika mengakibatkan orang mati.

·         Pasal 218
Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan se- ngaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
  
Adapun aparatur yang berwenang untuk memberikan sanksi pembubaran terhadap orang yang melakukan penyampaian pendapat di muka umum yang tidak memenuhi syarat adalah Kepolisian Republik Indonesia. Instansi lain, keamanan gedung, satpam, petugas keamanan internal, maupun pihak lain tidak berwenang untuk memberikan sanksi pembubaran.

Ø  Apakah Polisi Memiliki Kewenangan Memukul Demonstran?

Dalam pelaksanaannya, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) dapat menimbulkan kericuhan dan diperlukan adanya pengamanan. Untuk itu, pemerintah memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab :
a.       melindungi hak asasi manusia;
b.       menghargai asas legalitas;
c.       menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d.      menyelenggarakan pengamanan.

Sehingga, dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus selalu diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum (Pasal 23 ayat [1] UU 9/2008);
a.    terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum;
b.    terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional;
c.   terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.

Dan perlu diperhatikan bahwa pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya).

Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal 24 UU 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya:
a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul;
b.    keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
c.    tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya;
d.   tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
e.    tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;
f.     melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan;

Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (“Protap Dalmas”). Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.

·         Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas
Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas:
1.    bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa
2.    melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur
3.    membawa peralatan di luar peralatan dalmas
4.    membawa senjata tajam dan peluru tajam
5.    keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan
6.    mundur membelakangi massa pengunjuk rasa
7.    mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa
8.    melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan

Di samping larangan, Protap juga memuat kewajiban. Yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. Tidak hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan.

Jadi, pada prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran.

Pemukulan yang dilakukan oleh aparat yang bertuga mengamankan jalannya demonstrasi adalah bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Terkait dengan hal tersebut, dapat dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk ditelusuri apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan prosedur pengamanan demonstrasi.

Mengenai tongkat yang dibawa oleh aparat, memang berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara (“Perkapolri 8/2010”)¸aparat diperlengkapi antara lain dengan tameng sekat, tameng pelindung, tongkat lecut, tongkat sodok, kedok gas, gas air mata, dan pelontar granat gas air mata. Tongkat Lecut adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 2 (dua) cm dengan panjang 90 (sembilan puluh) cm yang dilengkapi dengan tali pengaman pada bagian belakang tongkat, aman digunakan untuk melecut/memukul bagian tubuh dengan ayunan satu tangan kecepatan sedang. Sedangkan tongkat sodok adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 3 (tiga) cm dengan panjang 200 (dua ratus) cm, aman digunakan untuk mendorong massa yang akan melawan petugas (lihat Pasal 1 angka 14 dan 15 Perkapolri 8/2010) .
 Jadi, memang aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi diperlengkapi dengan dua macam tongkat sebagaimana tersebut di atas yang digunakan selama pengamanan jalannya demonstrasi namun tidak membahayakan bagi demonstran.
Negara Indonesia yang menganut paham demokrasi dimana setiap warga Negara berhak mengemukakan pendapat seringkali disalahartikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ironisnya, para pelaku unjuk rasa anarkis dan brutal seringkali berasal dari kalangan mahasiswa atau kaum intelek, yang notabene tahu perihal peraturan perundang-undangan. Seharusnya, para kaum intelek ini bisa menyatakan aspirasi dengan cara yang intelek pula. Tidak harus dengan melakukan aksi unjuk rasa sambil membakar ban bekas di tengah jalan yang kemudian menyebabkan kemacetan. Dan aparat keamanan tidak melalukan tindakan kekerasan kepada demontran, karena itu jelas melanggar undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. 
Powered By Blogger

Followers

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Pages

Powered by Blogger.

Social Icons

Search

 

© 2013 Dono Ngeyel. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top